Powered By Blogger
Powered By Blogger

Jumat, 16 November 2012

Internalisasi Nilai-nilai Islam dalam Pendidikan Matematika




                                                                
“INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA MENUJU TERCIPTANYA GURU MATEMATIKA KHAIRA UMMAH”
       Oleh :
JUBIRMAN ( 422110016)
HARTOYO (422110011)
MUH. ARY ANSHORI HADI (422110025)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2012


INTERNALISASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan di Indonesia saat ini mengalami kekacauan atau ketidakrancuan kurikulum. Hal ini terlihat dengan bergantinya kurikulum tiap beberapa tahunnya, karena terbukti tidak mampu mengembangkan pendidikan Indonesia. Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaranagar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatanspiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, sertaketerampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudianmempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses penguasaan peradaban Illahiyah dan pembentukan kepribadian taqwa. Pendidikan karakter akhir-akhir ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang pandai yangmenguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqâfah rabbani. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai tsaqâfah Islam dan secara relatif sisikepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangansains dan teknologi.Akhirnya, sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi olehorang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agamaterkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mamputerjun di sektor modern.Jadi, pendidikan sekular memang bisa membikin orang pandai, tapi masalah integritas kepribadian atau perilaku, tidak ada jaminan sama sekali. Sistem pendidikan sekular ituakan melahirkan insan pandai tapi buta atau lemah pemahaman agamanya. Lebih buruk lagi, yang dihasilkan adalah orang pandai tapi korup. Profesional tapi bejat moral. Iniadalah out put umum dari sistem pendidikan sekular. Mari kita lihat contoh Negara Amerika atau negara Barat lainnya. Ekonomi mereka memang maju, kehidupan publiknya nyaman, sistim sosialnya nampak rapi. Kesadaran masyarakat terhadap peraturan publik tinggi.Tapi, perlu ingat bahwa agama ditinggalkan, gereja-gereja kosong. Agama dilindungisecara hukum tapi agama tidak boleh bersifat publik. Hari raya Idul Adha tidak bolehdirayakan di lapangan, azan tidak boleh pakai mikrofon. Pelajaran agama tidak saja absendi sekolah, tapi murid-murid khususnya Muslim tidak mudah melaksanakan sholat 5waktu di sekolah. Kegiatan seks di kalangan anak sekolah bebas, asal tidak melanggar moral publik. Narkoba juga bebas asal untuk diri sendiri. Jadi dalam kehidupan publik kita tidak boleh melihat wajah agama.Sistem pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular.Dalam sistem sekular, aturan-aturan, pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak  pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama.
Keterpurukan pendidikan di Indonesia hari ini sangat memerlukan pendidikan karakter. Dimana, pendidikan ini akan menanamkan nilai-nilai dan etika yang baik kepada siswa, dan satu-satunya dinul yang memiliki nilai dan etika yang baik hanyalah islam karena nilai dan etika yang turunnya langsung dari Allah. Pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan dari pendidikan dasar, menengah, hingga di pendidikan tinggi. Pendidikan karakterpun mendapatkan perhatian yang cukup besar oleh pemerintah Indonesia hari ini. Pendidikan karakter ini juga diperjelas melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab.”

B.    RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.     Apa itu pendidikan karakter?
2.     Bagaimana peranan pembelajaran matematika dalam pendidikan karakter?
3.     Bagaimana menginternalisasikan nilai-nilai islam ke dalam pembelajaran matematika?
C.    TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.     Mengetahui definisi pendidikan karakter
2.     Menjelaskan peranan pembelajaran matematika dalam pendidikan karakter
3.     Menjelaskan tentang bagaimana memasukan atau menginternalisasikan nilai-nilai islam ke dalam pendidikan matematika/
BAB II PEMBAHASAN
A.    PENDIDIKAN KARAKTER
            Pendidikan adalah suatu upaya sadar dan sistematis untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.  Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa secara aktif peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Usaha sadar ini tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungan dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya.
            Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil interbalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu hanya dapat dilakukan dalam lngkungan soaial budaya yang bersangkutan. Artinya pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam setiap proses pendidikan yang tidak dapat dilepaskan dari lingkungan soaial budaya masyarakat.
            Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter adalah sebagai berikut:
1. Religius                              7. Mandiri                             13.Bersahabat/komunikatif
2. Jujur                                    8. Demokratis                       14. Cinta damai
3. Toleransi                             9. Rasa ingin tahu                 15. Gemar membaca
4. Disiplin                               10. Semangat kebangsaan    16. Peduli Lingkungan
5. Kerja keras                         11. Cinta tanah air                  17. Peduli sosial
6. Kreatif                                12. Menghargai prestasi         18.Tanggung jawab

B.    PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Salah satu wadah kegiatan yang dapat berfungsi sebagai wadah untuk menciptakan sumber daya manusia yang bermutu tinggi adalah pendidikan, baik pendidikan jalur sekolah maupun luar sekolah. Matematika sebagai ”Queen of Science” yang merupakan pondasi dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah seharusnya mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak dalam pembudayaannya. Ada 3 unsur yang menunjang keberhasilan usaha pembudayaan matematika, yaitu:
a.      Lembaga tinggi yang menyiapkan calon tenaga guru dan mengembangkan berbagai inovasi dalam pembelajaran matematika sekolah.
b.     Mahasiswa pendidikan matematika sebagai calon guru matematika yang harus memperoleh bekal yang memadai agar siap menjadi guru profesional.
c.      Guru sebagai ujung tombak dalam setiap pelaksanaan inovasi dalam pembelajaran.
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar baik aspek terapan maupun aspek penalarannya, mempunyai peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti bahwa sampai pada batas tertentu matematika perlu dikuasai oleh segenap warga negara Indonesia, baik penerapannya maupun pola pikirnya. Matematika sekolah yang merupakan bagian dari matematika yang dipilih atas dasar kepentingan pengembangan kemampuan dan kepribadian  siswa serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu selalu dapat sejalan dengan tuntutan kepentingan siswa menghadapi tantangan kehidupan masa depan.
Untuk keperluan proses belajar mengajar di dalam kelas, tujuan kurikuler tersebut masih perlu dijabarkan ke dalam tujuan institusional (SK, dan KD) Pada tahap ini, kesulitan akan dialami terutama dalam usaha memadukan ranah afektif dan psikomotor sehingga dewasa ini lebih diperhatikan hanya pada ranah kognitif saja. Hal ini tentu akan mempengaruhi proses pembelajaran di kelas yang tentunya juga akan mempengaruhi pendidikan matematika yang memuat nilai-nilai luhur.
Dengan menyelaraskan dan memadukan tujuan pembelajaran dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, maka akan semakin meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa pada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan salah satu aspek tujuan pendidikan yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dan membudayakan matematika di sekolah salah satunya adalah dengan mengintegrasikan beberapa nilai-nilai keislaman dalam pembelajaran matematika.
Pendidikan akan melatih dan mengasah nalar manusia, sehingga dengan pendidikan maka kita akan semakin terbuka wawasan terhadap segala sesuatu yang ada di dunia ini. Nilai moral dari suatu materi pembelajaran adalah keyakinan dari suatu individu atau budaya yang subjektif dan mungkin berbeda-beda bagi setiap orang dan budaya. Nilai moral seseorang dapat berkembang dan berubah-ubah setiap saat, sedangkan nilai moral dari suatu budaya yang terbagi atau diperlakukan sama bagi semua anggota atau kelompok  berbeda dengan kelompok yang lainnya. 
Pemilihan bagian-bagian dari matematika untuk matematika sekolah tersebut perlu selalu disesuaikan dengan perkembangan dan tantangan masa depan. Hal ini berarti bahwa tujuan pendidikan matematika untuk masa depan harus memperhatikan hal-hal berikut.
1.     Tujuan yang bersifat formal, yaitu penataan nalar dan pembentukan kepribadian anak.
2.      Tujuan yang bersifat material yaitu penerapan matematika serta ketrampilan matematika.
Matematika sekolah yang diajarkan di setiap jenjang pendidikan tertentu harus dengan jelas dapat mendukung upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Hal ini berarti bahwa setiap materi yang akan diajarkan  harus dapat ditunjukkan aspek-aspek tertentu yang mengandung nilai dalam mendidik siswa. Tujuan pendidikan matematika memiliki sifat formal dan material yang berarti bahwa pendidikan matematika harus memiliki nilai didik dan nilai praktis.
Bangsa yang unggul adalah bangsa yang bermoral tinggi. Bangsa yang selalu memerhatikan nilai islam dalam perkembangannya. Dengan matematika dapat meningkatkan moral bangsa. Ada beberapa nilai didik dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan karakteristik dari matematika yang dapat diintegrasikan dengan Al Qur’an yang diharapkan dapat mendukung tujuan pendidikan nasional dan mencapai bangsa yang unggul, di antaranya: kesepakatan, ketaatasasan/konsistensi, deduksi, semesta.

C.    INTERNALISASI NILAI ISLAM KE PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Pada perkembangan sejarah islam, kunci keberhasilan dakwah Rasulullah SAW adalah keagungan akhlak yang dimilikinya (Qs.Qalam/68: 4) keteladan/uswatun hasanah bagi umatnya (Qs.Al-Ahzab/33: 21). Hanya dalam 23 tahun ia berhasil menjalankan misinya dalam menyempurnakan akhlak manusia (li utammima makaarim al-akhlaq) sehingga masyarakat jahiliyah berganti menjadi masyarakat madani. Nabi Muhammad SAW laksana al-Qur’an berjalan. Dengan al-Qur’an itu pula ia mendidik para sahabatnya sehingga memiliki karakter/akhlak yang begitu kuat. Sahabat-sahabat yang berkarakter berbasis al-Qur’an tersebut menjadi modal utama dalam membangun masyarakat berperadaban tinggi. Belajar dari keberhasilan Rasulullah SAW tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mendidik karakter manusia, terutama yang mengaku Islam sebagai agamanya, mesti berdasarkan kepada al-Qur’an.
Pada perkembangan pendidikan, pendidikan karakter menjadi tema hangat untuk diterapkan melalui lembaga pendidikan formal. Bahkan Kementerian Pendidikan Nasional melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum telah merumuskan program “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” atau disingkat dengan PBKB, sejak tahun 2010 lalu. Dalam proses PBKB, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat,  mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Dalam program tersebut, terdapat 18 nilai yang dikembangkan, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung-jawab. Program ini patut direspon oleh masyarakat, terutama praktisi pendidikan dan stakeholder yang terkait. Namun, konsep PBKB masih bersifat umum sehingga masih membutuhkan ide-ide kreatif dalam pengembangannya. Di era otonomi ini, pemerintah daerah, termasuk sekolah, sesungguhnya memperoleh peluang yang besar untuk mengembangkan berbagai program yang sesuai dengan kebutuhannya, termasuk mengembangkan konsep pelaksanaan pendidikan karakter tersebut.
Sebagai umat Islam yang meyakini al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, dan sebagai guru matematika, seharusnyalah kita dapat memanfaatkan peluang ini. Sebagai guru matematika, seyogyanya kita dapat merumuskan konsep pendidikan karakter berbasis Al-Qur’an. Hal ini disebabkan secara teologis, mustahil seorang muslim yang mengabaikan Al-Qur’an memiliki karakter atau akhlakul karimah sebagaimana yang diinginkan dalam ajaran Islam itu sendiri.
Hakikat pendidikan karakter itu sendiri adalah penanaman nilai, membutuhkan keteladanan dan harus dibiasakan, bukan diajarkan. Jika dalam konsep   PBKB   yang   disusun  oleh  Puskur  terdapat  18 nilai,  maka  dalam perspektif     Al-Qur’an    jauh    melebihi    angka    tersebut.    Namun    untuk memudahkan penanaman nilai tersebut, perlu dirumuskan secara sederhana sesuai dengan tingkat pendidikan itu sendiri. Paling tidak nilai-nilai itu bisa dikelompokkan dalam empat hal, yaitu:
1.     nilai yang terkait dengan hablun minallah (hubungan seorang hamba kepada Allah), seperti ketaatan, keikhlasan, syukur, sabar, tawakal, mahabbah, dan sebagainya.
2.     nilai yang terkait dengan hablun minannas, yaitu nilai-nilai yang harus dikembangkan seseorang dalam hubungannya dengan sesama manusia, seperti tolong-menolong, empaty, kasih-sayang, kerjasama, saling mendoakan dan memaafkan, hormat-menghormati, dan sebagainya.
3.     nilai yang berhubungan dengan hablun minannafsi (diri sendiri), seperti: kejujuran, disiplin, amanah, mandiri, istiqamah, keteladanan, kewibawaan, optimis, tawadhu’, dan sebagainya.
4.     nilai  yang berhubungan dengan hablun minal-‘alam (hubungan dengan alam sekitar), seperti: keseimbangan, kepekaan, kepeduliaan, kelestarian, kebersihan, keindahan, dan sebagainya.
Nilai-nilai tersebut mesti dikembangkan lebih lanjut dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an. Nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an itu sesungguhnya memiliki makna yang lebih luas, kompleks dan aplikatif jika dibandingkan dengan nilai-nilai yang muncul dari hasil pikiran manusia. Misalnya, nilai istiqamah jauh lebih luas dari nilai komitmen dan konsisten. Begitu pula makna ikhlas jauh lebih mendalam dibandingkan dengan makna rela berkorban. Bahkan istilah akhlak pun jauh lebih kompleks dibanding dengan istilah moral, etika, atau karakter.
Pada kegiatan intrakurikuler, nilai-nilai tersebut harus dirumuskan dalam bentuk “Indikator Penanaman Nilai” oleh guru dalam rencana pembelajarannya untuk diintegrasikan dengan materi tiap mata pelajaran. Dengan begitu tak satu pun materi yang bebas dari nilai. Selain itu, proses pembelajarannya pun sebaiknya diintegrasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam  hal ini,  ayat-ayat  al-Qur’an  akan  menjadi basis terhadap suatu ilmu sehingga siswa tidak saja memperoleh pengetahuan, tetapi diharapkan memperoleh keberkahan dari ilmu itu sendiri.
Penanaman nilai pada budaya sekolah harus dirumuskan dalam bentuk beberapa aturan sehingga terjadi proses pembiasaan dan pembudayaan. Munculnya Buda’I (Budaya Akademik Islami) merupakan salah satu cara untuk mengatasi keterpurukan pendidikan Indonesia. Seperti tadarus di awal pembelajaran, setiap guru membuka pelajaran dengan membaca surat-surat pendek, membudayakan ucapan salam, mengedepankan keteladanan, malu melanggar peraturan, menjalin interaksi dengan kasih sayang, menjaga kebersihan dan sebagainya. Dalam hal ini, pemberian reward (penghargaan) lebih dikedepankan dari pada punishment (hukuman). Seingga akan muncul Buda’I Award suatu penghargaan untuk orang-orang yang menjalankan budaya akademik islami secara utuh dan menyempurna.
Pembelajaran matematika tidak terlepas dari ilmu-ilmu yang lain. Pembelajaran matematika juga dapat diintegrasikan dengan pendidikan agama, khususnya agama Islam. Pembelajaran matematika berbasiskan keislaman dapat digunakan untuk memperkuat karakter bangsa.
Jadi, dengan menerapkan nilai-nilai islam atau karakter islami ataupula Budaya Akademik Islami maka tidak mengherankanlagi akan muncul dan tercipta dengan sendirinya “generasi matematika khaira ummah”. Suatu generasi yang professional, generasi matematika yang mampu tangguh dalam bersaing secara global berdasarkan nilai-nilai keislaman, suatu generasi yang juga diharapkan oleh Allah dalam firmannya Surah Ali Imran Ayat 110.
BAB III PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan dari pembahasan makalah diatas, maka kami dapat menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.
Bangsa yang unggul adalah bangsa yang bermoral tinggi. Bangsa yang selalu memerhatikan nilai islam dalam perkembangannya. Dengan matematika dapat meningkatkan moral bangsa. Ada beberapa nilai didik dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan karakteristik dari matematika yang dapat diintegrasikan dengan Al Qur’an yang diharapkan dapat mendukung tujuan pendidikan nasional dan mencapai bangsa yang unggul, di antaranya: kesepakatan, ketaatasasan/konsistensi, deduksi, semesta.
Jadi, dengan menerapkan nilai-nilai islam atau karakter islami ataupula Budaya Akademik Islami maka tidak mengherankanlagi akan muncul dan tercipta dengan sendirinya “generasi matematika khaira ummah”. Suatu generasi yang professional, generasi matematika yang mampu tangguh dalam bersaing secara global berdasarkan nilai-nilai keislaman, suatu generasi yang juga diharapkan oleh Allah dalam firmannya Surah Ali Imran Ayat 110.

B.    SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
  1. perlu ditingkatkan profesionalitas guru matematika agar dapat mengembangkan karakter siswa
  2. perlu dibina keteladanan pada guru matematika sesuai dengan keislaman untuk mengembangkan karakter siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning mathematics (in Secondary Schools). Wm. C. Brown Company. Dubuque. Iowa
Soedjadi, R. 1995. Matematika Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama sebagai wahana pendidikan dan pembudayaan penalaran.  Surabaya
__________. 2003. UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Deprtemen Pendidikan . Jakarta
__________. 2006. Kerangka Dasar Keilmuan dan Pengembangan Kerikulum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pokja Akademik.
__________. 2006. Kurikulum KTSP. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta
__________. 2009. Al Qur’an. Departemen Agama RI
_____________. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Balitbang Kemendiknas. 2010.  Jakarta. www.jubirman.blogspot.com

Guru Adalah Mediator Munculnya Peradaban




Allah, malaikat, serta semua makhluk penghuni langit dan bumi, bershalawat mendoakan para pengajar kebaikan, yaitu orang-orang yang berprofesi sebagai guru, dosen, ustadz dan profesi pengajar lainnya yang dalam hidupnya menebarkan kebaikan, dengan memberikan pengajaran kepada manusia akan ilmu kehidupan. Dalam sebuah hadist syarif Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasalam bersabda, “ Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya, para penghuni langit dan bumi, hingga semut di lubangnya dan ikan hiu, mengucapkan doa kepada pengajar kebaikan terhadap manusia. “ (Sunan At-Tirmidzi).
 
Profesi yang mulia bahkan mungkin yang paling termulia didunia adalah menjadi pengajar kebaikan (lebih mudahnya sebut saja guru). Jika kita saksikan ada pejabat yang sukses, ataupun insinyur, dokter, pengusaha besar bahkan pemimpin di negeri ini tentunya tidak akan terlepas dari sentuhan ketulusan ilmu yang diberikan oleh seorang guru. Karena itu ilmu yang diberikan oleh guru akan memberikan pengaruh yang teramat besar dalam kehidupan manusia, menjadi bagian dari ibadah jariyah yang senantiasa mengalir kebaikannya baik didunia maupun akhirat.
Bukankah berprofesi sebagai seorang guru adalah profesi yang mulia.? Mengapa tidak. Ia selalu mengajrkan ilmunya dan menyebarluaskanya. Walaupun dia telah tiada tetapi ilmu yang ia alirkan ke muridnya akan tersebar luas. Sesuai dengan sabda rasulullah dalam hadistnya
“Diantara amal dan kebaikan yang menyusul seseorang sesudah matinya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarluaskan, ….” (HR Ibnu Majah, Baihaqi dan ibnu Khuzaimah).
Profesi mulianya seorang guru adalah profesinya Nabi dan Rasul. Hakikat diutusnya para nabi dan rasul Allah adalah untuk memberikan pengajaran kepada manusia, dengan ilmu yang bersumber pada kitabullah, dan juga hikmah kehidupan dari teladan yang dicontohkan dari sunnah-sunnah(kebiasaan). Keilmuan yang mereka sebarkan adalah kabar gembira yang akan memberikan harapan dan optimisme, serta peringatan untuk mengingatkan mereka senantiasa menjaga jalan kehidupan di jalan yang lurus.   
Konsep pengajaran guru sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah sebagai nabi akhirul zaman adalah tarbiyah (pendidikan) dan tazkiyah (penyucian jiwa). Dengan munculnya ilmu pengetahuan, pendidikan akan membangun cakrawala berfikir ilmiah dan bernalar, yang membangkitkan potensi intelektual dan emosional. Di masa kejayaan dan keemasan peradaban islam telah membuktikan hal itu, dengan pijakan keilmuan telah mengarahkan manusia untuk berfikir kritis dan terukur pada obyek-obyek yang realistis, yang telah menggantikan keyakinan-keyakinan klenik dan mistis ataupun filsafat-filsafat helinistik yang mengambang. Kegemilangan keilmuan islam telah mampu memberikan sumbangsih besar penemuan-penemuan mendasar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Munculnya Ibnu sina sebagai pakar kedokteran, Al Khawarizmi sebagai penemu angka nol, Al Farabi yang dikenal sebagai ahli filosof, Al Kindi sebagai ahli perbintangan, juga salahuddin Al Ayubi ahli strategi perang, kesemua itu muncul karena adanya seorang guru yang mulia. Guru yang tiap harinya memasukan cairan motivasi kedalam relung hati dan pikirannya. Guru tak pernah lelah dalam membangun sebuah peradaban.
Ternyata mulianya seorang guru tidak hanya dirasakan oleh kaum muslimin. Tetapi nonmuslim pula merasakannya. Ketika itu bom atom meluluh-lantakkan Hiroshima-Nagasaki pada awal Agustus 1945, apa yang dilakukan seorang kaisar Jepang Hirohito. Beliau tidak menanyakan berapa para pengusaha yang wafat, atau berapa para menteri Negara bahkan anggota DPR yang wafat akibat jatuhnya bom itu. Kaisar Jepang memerintahkan agar secepatnya mendata para guru yang selamat. Ini menyiratkan bahwa pendidikan menjadi motor kebangkitan Jepang sebagai salah satu negara super power dunia.
Guru jauh lebih baik daripada dogma. Karena dia seorang penuntun harapan sekaligus pendengar,”demikian kata sejarawan Edward Bulwer Lytton. Ungkapan hampir dua abad silam itu memberi pesan bahwa guru mempunyai peran penting dalam pembentukan karakter dan nasib kemajuan suatu bangsa.