ABSTRAK
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku
seseorang atau sekolompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk
memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam
penididkan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu
adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia,
tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan
terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan
pendidikan.
Namun pendidikan di Indonesia hari ini
telah menuai banyak problematika yang memuat seluruh aspek yang menghalangi
lajunya pertumbuhan pendidikan. Misalnya tentang permasalahan kesejahteraan
guru, pemerataan pendidikan (dalam arti fasilitas atau sarana dan prasarana),
kualitas guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menjadikan tujuan
pendidikan Indonesia tidak tercapai. Sehingga hal ini butuh kajian mendalam
yang bersifat fundamental untuk mengetahui penybab munculnya problematika
pendidikan.
Ternyata, ada satu hal penting yang
bersifat fundamental sebagai penyebab munculnya berbagai problematika
pendidikan di Indonesia. Masuknya paham sekulerisme
yang memisahkan antara urusan agama dan urusan kehidupan menjadikan cita – cita
pendidikan Indonesia tak tercapaikan. Coba kita perhatikan kembali dari UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1.
Yang lahir bukannya manusia yang berketuhanan dan berbudi luhur, namun yang
hadir adalah manusia – manusia yang melakukan persekongkolan yang masuk dalam
lingkaran hitam (mafia pendidikan). Sehingga antar ide dan realita berbanding
terbalik. Hakikat pendidikan tidak berujung pada memanusiakan manusia, bahkan
lebih buruk lagi dari itu yaitu berakhir pada membinatangkan manusia.
Keyword: Pendidikan, problematika, guru, siswa, mafia
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang
bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini yang tidak terlepas dari
segala aktivitas manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek
dari perencanaan dan penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah
imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa
hal yang berhubungan dengan Pendidikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha
manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada
hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam penididkan
terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah
pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi
dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi
interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
Berangkat dari
definisi di atas maka dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan
indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam
rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian,
sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel
kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan
agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk
dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Meskipun, pemerintah dalam hal ini
berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap
dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan,
“Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap,
serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap
kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Terkait dengan
kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001)
mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang
terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab
pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem
pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang
disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan
dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan
Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12,
setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka
rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
a. Apa
definisi problematika pendidikan dan bagaimana penyebabnya?
b. Bagaimana
kondisi kesejahteraan guru hari ini?
c. Seperti
apakah realita pemerataan pendidikan di Indonesia?
d. Apakah
polemik Ujian Nasional termasuk problematika pendidikan?
C.
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi
tujuan pada makalah ini yaitu:
a. Mendeskripsikan
tentang definisi dan penyebab dari problematika pendidikan
b. Mendeskripsikan
tentang kondisi kesejahteraan guru Indonesia hari ini
c. Menjelaskan
realita lapangan dari pemerataan pendidikan di Indonesia
d. Menjelaskan
tentang polemik Ujian Nasional
BAB
II PEMBAHASAN
A. Problematika Pendidikan dan
Penyebabnya
Istilah
permasalahan diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah segala sesuatu yang harus diselesaikan
atau dipecahkan (solving). Sedangkan kata permasalahan berarti sesuatu yang
dimasalahkan atau hal yang dipermasalahkan. Jadi Permasalahan pendidikan adalah segala sesuatu
hal yang merupakan masalah atau problema dalam pelaksanaaan kegiatan pendidikan.
Di Indonesia masalah pendidikan atau akrabnya kita menggunakan kata
problematika pendidikan memuat banyak hal dari seluruh aspek yang menghalangi
lajunya pertumbuhan pendidikan. Misalnya tentang permasalahan kesejahteraan
guru, pemerataan pendidikan (dalam arti fasilitas atau sarana dan prasarana),
kualitas guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menjadikan tujuan
pendidikan Indonesia tidak tercapai.
Beberapa permasalahan diatas tentu butuh
kajian yang mendalam yang meyakinkan kepada kita tentang alasan mendasar munculnya
problematika pendidikan. Sebenarnya apa yang mendasari munculnya problematika
dalam dunia pendidikan? Pertanyaan ini memang biasa, namun ini adalah realita
yang perlu diungkap. Coba kita perhatikan kembali dari UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang
menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat,
berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab
terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Ironisnya
antara ide dan realita berbanding terbalik. Realita yang dapat kita temukan
dilapangan adalah bukan manusia yang beriman, bukan manusia yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan manusia yang berbudi mulia, berahlakul
karimah, melainkan yang muncul adalah manusia – manusia yang terpaksa beriman
hanya karena formalitas memiliki agama namun tak menjalankan aturan – aturan
agama. Parahnya urusan agama dipisahkan dengan urusan kehidupan.
Pendidikan Indonesia tidak melahirkan
manusia – manusia berbudi luhur dan berahlakul karimah, namun yang hadir adalah
manusia – manusia pencuri soal di kala Ujian Nasional, manusia – manusia
pencontek, manusia – manusia yang bergotong royong dalam melakukan tindakan
kejahatan kepada siswa yang pintar dalam bentuk ancaman. Ini berbanding
terbalik dari apa yang di cita-citakan dengan apa yang terjadi dilapangan.
Semuanya jauh dari harapan, bahkan cita – cita pendidikan Indonesia atau tujuan
pendidikan Indonesia tidak akan pernah tercapai.
Ternyata, ada satu hal penting yang
bersifat fundamental sebagai penyebab munculnya berbagai problematika
pendidikan di Indonesia. Masuknya paham sekulerisme
yang memisahkan antara urusan agama dan urusan kehidupan menjadikan cita – cita
pendidikan Indonesia tak tercapaikan. Agama tidak boleh mengurus urusan
pendidikan, sehingga ilmu – ilmu Barat dengan leluasa masuk dan
ditransformasikan ke pikiran siswa, baik dari ideologinya, pandangan hidupnya (worldview), filsafat ilmunya, hingga ke
penerapannya, semuanya diadopsi dari pemikiran Barat. Jangan heran ketika di
buku – buku Sejarah Indonesia masih terdapat teori evolusi Darwin. Padahal hal
ini bertentangan dengan ajaran islam. Seolah – olah para guru dan praktisi
pendidikan diam – diam saja dan bersekongkol untuk melakukan pembiaran terhadap
hal itu.
Selain itu, alasan mendasar yang
menyebabkan antara ide dan realita pendidikan Indonesia berbanding terbalik
adalah paradigma keliru yang dilakukan oleh sistem pendidikan Indonesia. Paradigma
keliru yang dimaksud adalah sistem pendidikan Indonesia terlalu memfokuskan
diri pada tujuan hingga lupa pada proses. Sehingga siswa di doktrin untuk
memikirkan tujuan dan lupa memikirkan proses. Setingan ini terlihat jelas dalam
persiapan menghadapi Ujian Nasional. Sejak dari awal – awal, siswa telah
didoktrin untuk memikirkan lulus Ujian Nasional sehingga halal – haram tidak
menjadi ukuran dalam ikhtiar ini.
Yang penting lulus Ujian Nasional, entah mau cara apa, aman – aman saja
dilaksanakan asal tidak ketahuan publik. Siswa tidak lagi disuruh harus cerdas
atau lebih dalam lagi siswa tidak difokuskan untuk menjadi siswa yang
berketuhanan, berbudi luhur, dan berahlakul karimah, melainkan siswa disuruh
bagaimana caranya agar bisa menyelesaikan soal – soal Ujian Nasional. Sehingga
tujuan pendidikan Indonesia menjadi impossible
(tidak mungkin) tercapai. Akibatnya, antara apa yang dicita – citakan dengan
apa yang terjadi dilapangan jelas berbanding terbalik.
B. Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Guru
Mari bersama kita tengok kembali sejarah
jatuhnya bom di Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar Jepang mengeluarkan intstruksi
tidak untuk mencari berapa pejabat yang meninggal, berapa para seniman,
politisi, hakim, atau berapa dari kalangan birokrasi pemerintahan yang meninggal,
namun yang dicarinya adalah berapa guru yang meninggal. Betapa pentingnya
keberadaan guru dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Guru adalah tonggak
utama dalam maju mundurnya pendidikan. Namun hari ini di Indonesia nasib guru
cukup memprihatikan.
Ironisnya guru - guru yang honorer masih
mendapatkan gaji yang jauh dari ukuran kelayakan profesi. Guru honorer
yang hanya menerima honor Rp 200.000 hingga Rp 300.000 setiap bulan. Hal ini jauh
lebih kecil dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) di daerah manapun
di Indonesia. Padahal mereka bekerja penuh waktu dan memiliki tanggung jawab
sama dengan guru PNS. Perihal ketimpangan ini, seorang guru di Berau,
Kalimantan Timur bernama Evi Sulistiyaningsih, seorang guru Bahasa Indonesia di
SMA Negeri 4 Berau sekaligus guru berprestasi 2014 mengatakan bahwa peran
pemerintah terhadap guru PNS sudah lebih baik, apalagi ditambah adanya
tunjangan sertifikasi. Namun, hal ini tidak dirasakan oleh guru honor, yang
menurutnya kurang diperhatikan oleh pemerintah. Padahal pekerjaan mereka sama
dengan guru PNS, namun gaji honor mereka jauh dari ukuran kelayakan.
Harapan yang dikemukakan oleh Evi Sulistiyaningsih
diatas boleh jadi merupakan harapan semua guru di Indonesia, baik yang
berstatus PNS maupun honorer. Di lapangan, kita tentu sangat mudah menemukan
fakta bahwa di satu sekolah guru PNS dan honorer memiliki beban sama, namun
pendapatan yang diterima jauh berbeda. Realita ini tidak hanya kita temukan di
Kalimantan, namun hal ini pun dapat kita temukan di sekolah – sekolah lain dari
Sabang sampai Merauke. kondisi ini pulalah yang
menjadikan guru PNS terkadang merasa “berdosa” dengan rekan sepenanggungannya.
Rendahnya kesejahteraan guru akan
berdampak pada rendahnya kualitas Pendidikan Indonesia. Berdasarkan surfei FGII
(Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3.000.000. namun faktanya
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1.500.000. Guru bantu Rp
460.000, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10.000/jam. Dengan
pendapatan seperti itu sehingga tidak mengherankan bila banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, atau
terkadang memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus,
pedagang buku/ LKS, atau bahkan pedagang pulsa ponsel dan sebagainya (Republika
13 juli 2005).
Realita lain terungkap dalam film “Laskar Pelangi”
karya Andrea Hirata. Film ini mengungkap nasib guru yang memilukan namun
komitmen dengan profesinya. Nasibnya jauh dari apa yang dirasakan oleh guru –
guru lain yang hidup dekat dengan Ibukota negara, namun semangatnya jauh dari
apa yang dimiliki oleh guru – guru yang hidup dekat dengan ibukota negara.
Meskipun gaji sedikit, namun semangatnya tetap tinggi dan komitmen dalam
membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan tujuan mulia, yakni mengharapkan
lahirnya manusia - manusia yang berketuhanan (dalam arti beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa), manusia – manusia yang bermoral baik, berbudi
luhur, serta manusia – manusia yang tangguh dan mampu bersaing secara global
dengan daya saing tinggi. Harapan dan semangat ini sulit kita temukan dalam
diri guru – guru PNS yang konon mendapatkan gaji maksimal.
Apalagi, muncul program diskriminasi baru yang namanya
sertifikasi guru. Seorang guru tidak lagi mengajar dengan tujuan mulia, namun
seorang guru mengajar hanya untuk mendapatkan sertifikasi dengan gaji yang
menjanjikan. Paham materialisme mulai
ditanamkan oleh pemerintah. Sehingga sulit dikatakan “ya” untuk terwujudnya
tujuan pendidikan nasional jika framework
yang ditularkan pemerintah kepada siswa adalah paradigma keliru. Paradigma yang
berawal dari sekulerisme dan berujung
pada materialisme.
C. Realita Pemerataan Pendidikan
Indonesia
Pendidikan merupakan faktor penting penentu maju
mundurnya kebangkitan sebuah bangsa. Sehingga jangan heran bila Prof. Anies
Baswedan (Menteri Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan periode 2014 - 2019)
terlalu memerhatikan pendidikan dengan mengirimkan tenaga – tenaga pengajar ke
daerah – daerah terpencil melalui program Indonesia Mengajar. Program ini tak
lain merupakan usaha dalam pemerataan pendidikan. Sehingga hak dalam
mendapatkan pendidikan yang layak dapat dirasakan secara merata ke seluruh
wilayah Indonesia.
Namun, ternyata program “Indonesia Mengajar” tak
mendapatkan hasil yang maksimal. Karena masih banyak daerah – daerah yang belum
mendapatkan pendidikan secara merata. Pemerataan pendidikan mestinya tidak
hanya dipandang dari sudut pandang proses kegiatan belajar mengajar. Namun
lebih dari itu, pemerataan pendidikan juga harus meliputi pada pemerataan
fasilitas (sarana dan prasarana), pemerataan distribusi buku, pemerataan
bangunan fisik sekolah, pemerataan kualitas guru, dan pemerataan ketersediaan
koneksi internet. Setidaknya sekolah – sekolah negeri harus mendapatkan
beberapa pemerataan diatas.
Bagaimana mungkin kita akan menyamakan kondisi fisik
sekolah di Papua dengan kondisi fisik sekolah di Jakarta misalnya. Atau
bagaimana mungkin kita akan menyamakan ketersediaan buku – buku di Bandung
dengan ketersediaan buku – buku di Wawonii (Sulawesi tenggara). Ketersediaan
buku dan fasilitas lainnya akan berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas
siswa. Begitupun sebaliknya tidak tersedianya buku atau fasilitas lainnya akan
berbanding lurus dengan menurunnya kualitas siswa.
Sebagai bahan referensi data untuk dapat
dipertimbangkan, terdapat sebuah sekolah di Kepulauan Wawonii (Sulawesi
Tenggara) tepatnya di SMPN 2 Waworete, Desa Mosolo yang masih belum teraliri
aliran listrik. Padahal, di abad tekhnologi ini hampir semua sekolah - sekolah
di Pulau Jawa telah menggunakan wifi
untuk terkoneksi di internet. Jangankan koneksi internet, listrik saja belum
ada, apalagi jaringan seluler di sekolah tersebut. Hal ini belum lagi kita
berbicara tentang adanya komputer atau mikroskop sebagai fasilitas wajib bagi
sekolah - sekolah, belum lagi kita berbicara tentang fasilitas – fasilitas
lainnya yang masih jauh dari ukuran kelayakan sebagai sebuah sekolah. Kondisi
ini mestinya mendapatkan perhatian penuh dari pihak pemerintah dalam memerhatikan
pemerataan penyediaan fasilitas yang memadai bagi sekolah – sekolah yang
membutuhkan.
Sudut pandang lain misalnya dari aspek ekonomi.
Meningkatnya angka putus sekolah yang disebabkan permasalahan ekonomi keluarga
yang lemah menjadikan indikasi terhadap tidak meratanya pendidikan diseluruh
wilayah Indonesia. Apalagi di wilayah Indonesia Timur, pendidikan hanya mereka
rasakan disaat Sekolah Dasar namun tak dirasakannya pada Sekolah Menengah
Pertama (SMP) dan Sekolah Menegah Atas (SMA), apalagi Perguruan Tinggi (PT).
Mereka terpaksa menganggur dan kembali melanjutkan profesi turunan mereka
sebagai petani dan nelayan hanya karena keterbatasan ekonomi. Sehingga tidak
mengheran bila terdapat anak – anak kecil di wilayah pelosok Indonesia yang
masih berumur sekitar ± 10 – 12 tahun harus bekerja membanting tulang untuk
membantu menghidupi keluarga.
Inilah realita pemerataan pendidikan dilapangan yang
bisa kita lihat bersama. Seolah – olah pemerintah menutup mata dalam melihat
realita ini yang merupakan realita tak terbantahkan dan menjadi tanggung
jawabnya sebagai pemimpin di negeri ini. Pemerintah seolah – olah lupa dengan
adanya sila ke lima dalam pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Bukan keadilan namanya jika kekayaan alam di Papua, di Kalimantan,
di Sulawesi, dan di Sumatra hanya dirasakan oleh warga yang tinggal dekat
dengan ibukota negara. Anehnya, pemerintah adil dalam penagihan pembayaran
pajak namun tidak adil dalam distribusi pembagian hasil pajak. Hanya segelintir
orang yang merasakan kayanya alam Indonesia dan yang lainnya hanya merasakan
penderitaan didalam kekayaannya. Hal ini mirip dengan sebuah analogi tikus yang
mati di lumbung padi. Sehingga rasa – rasanya konsep Drs. Moh Hatta dalam
diskusinya bersama Ir. Soekarno dalam menentukan bentuk negara Indonesia
dianggap baik untuk diterapkan hari ini
sebagai negara federal, bukan sebagai negara republik.
D. Polemik Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) merupakan program
evaluasi yang dilakukan pemerintah secara nasional untuk melihat kemampuan
peserta didik Indonesia. Singkatnya, Ujian Nasional dijadikan sebagai ukuran
penentu kelulusan siswa. Program Ujian Nasional dilaksanakan di tiap jenjang
pendidikan, terkecuali jengang perguruan tinggi. Dimulai dari jenjang dasar (SD
atau sederajat), jenjang menengah pertama (SMP atau sederajat), hingga ke
jenjang menengah atas(SMA atau sederajat).
Meskipun menuai perdebatan, pro kontra,
dan polemik bagi bangsa, pemerintah Indonesia masih saja melaksanakan Ujian
Nasional. Penolakan terhadap Ujian Nasional mulai berdatangan mulai dari guru,
ulama, anggota DPD RI, bahkan dari siswa itu sendiri. Salah satu faktanya yaitu
seorang aktivis Koalisi Reformasi Pendidikan (KRP), yang juga Sekretaris
Jenderal Federasi Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti dengan keras menantang
Ujian Nasional. Ada lima alasan menurutnya Ujian Nasional kenapa harus ditolak.
Pertama, absennya pastisipasi pemuda (dalam hal ini siswa) dalam rapat
penentuan keputusan apakah UN tetap dilaksanakan atau tidak. Pernahkan siswa
diundang dalam konvensi tentang Ujian Nasional oleh Kemendikbud? Siswa tidak
diberikan kesempatan untuk berpendapat dalam konvensi Ujian Nasional. Kalaupun
diundang, namun belum tentu suaranya akan didengar dan dielaborasi. Padahal
dari semua perdebatan antara guru dan para praktisi pendidikan tentang perihal
Ujian Nasional, pihak yang paling dirugikan adalah guru (pendidik) dan siswa
(didikan).
Alasan kedua, Ujian Nasional akan
berdampak pada gangguan fisik dan psikis oleh siswa. Dari awal – awal guru
telah memberitahu siswa tentang pentingnya kesiapan siswa dalam menghaapi Ujian
Nasional. Tak disadari bahwa ini akan membuat siswa mulai berpikir langkah apa
yang mesti dilakukan untuk menyukseskan Ujian Nasional. Berbagai strategi dan
taktik akan dijalankannya dengan tanpa memperhatikan ukuran halal haram sebagai
ketentuan moral. Sehingga berbagai strategi tawaran mulai berdatangan dari
oknum – oknum terntentu dalam menawarkan kegiatan bimbingan belajar yang
termasuk dalam lingkaran hitam (lingkaran yang kita sebut sebagai makelar atau mafia
pendidikan). Berbagai janji yang menggiurkan telah ditawarkannya namun dengan
harga yang begitu besar. Salah satu janji yang dikeluarkan adalah uang akan
dikembalikan 75% jika yang bersangkutan tidak lulus dalam Ujian Nasional. Ternyata, ini merupakan setingan kerja sama
dari oknum guru, pihak penyelenggara Bimbingan Belajar, dan pihak pembuat soal
UN. Sehingga wajar saja siswa yang ikut dalam bimbingan belajar tersebut dapat
dengan mudah lulus dalam Ujian Nasional.
Alasan ketiga, UN akan memicu kecurangan
dan rasa tidak percaya diri dikalangan pendidik (guru) dan kalangan peserta
didik. Bisa dibayangkan, terdapat guru dan murid yang bekerja sama dalam
melakukan transaksi soal dengan bayaran harga tinggi yang berkisar harga
puluhan juta. Namun di satu pihak, siswa yang lain dengan ekonomi lemah banting
tulang, peras keringat untuk belajar dalam mempersiapkan Ujian Nasional. Hal
ini jelas terlihat ketimpangan dan kecurangan sekaligus rasa tidak percaya diri
yang dimilki oleh pihak guru dan siswa. Alasan keempat, pemborosan biaya
anggaran yang memakan dana lebih dari setengah triliunan rupiah. Bisa dilihat, untuk biaya UN SMP dan SMA sebesar Rp 515.496.127.000, UN
SD Rp 127.960.093.000. Padahal dengan dana sebesar ini bisa saja kita alokasikan
untuk pemerataan fasilitas berupa sarana dan prasarana sekolah. Selain itu,
dana itu pula bisa dialokasikan untuk pemberian tambahan gaji guru honorer yang
hari ini jauh dari ukuran kelayakan.
Alasan kelima, Ujian Nasional
bertentangan dengan Undang – Undang Dasar. Pada tahun 2007 Mahkamah Agung (MA)
telah memutuskan untuk tidak memberlakukan UN sebagai penentu kelulusan sebelum
tujuh standar pendidikan lainnya dipenuhi. UN juga bertentangan dengan
kurikulum yang ada, karena tidak sejalan dengan keberagaman daerah dan kearifan
lokal masing masing daerah yang ada di Indonesia. Lebih jauh lagi UN menjadikan
tujuan pendidikan dalam yang tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 bersifat impossible.
Tidak akan lahir manusia yang bertakwa dan berbudi luhur seperti yang di
inginkan oleh Undang – Undang, namun yang lahir adalah manusia – manusia yang
dengan berjamaah melakukan kemungkaran berupa transaksi soal yang kita namakan
sebagai mafia pendidikan.
BAB
III PENUTUP
A. Simpulan
Di Indonesia masalah pendidikan atau
akrabnya kita menggunakan kata problematika pendidikan memuat banyak hal dari
seluruh aspek yang menghalangi lajunya pertumbuhan pendidikan. Misalnya tentang
permasalahan kesejahteraan guru, pemerataan pendidikan (dalam arti fasilitas
atau sarana dan prasarana), kualitas guru, dan beberapa permasalahan lainnya
yang menjadikan tujuan pendidikan Indonesia tidak tercapai. Sehingga butuh
kajian yang mendalam untuk mencari tahu penyebab atau alasan utama yang
bersifat fundamental tentang munculnya problematika pendidikan.
Tujuan pendidikan Indonesia telah tertuang
dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas
pasal 4 ayat 1. Namun antara ide dan realita tak berjalan mulus,
bahkan berbanding terbalik. Bukannya manusia yang berketuhanan dan
berkepribadian luhur yang muncul, namun yang lahir adalah para mafia pendidikan
dengan secara berjamaah melakukan transaksi soal untuk menyukseskan Ujian
Nasional. Sehingga hakikat pendidikan dalam “memanusiakan manusia” tidak pernah muncul, namun yang lahir adalah
“membinatangkan manusia”
B. Saran
Problematika pendidikan adalah masalah
fundamental yang dihadapi bangsa Indonesia sehingga menghalangi lajunya
pertumbuhan pendidikan Indonesia. Sehingga problematika ini mestinya menjadi
perhatian dan diskusi bersama oleh Kemendikbud, para praktisi pendidikan, guru,
mahasiswa sebagai calon pendidik, dan siswa itu sendiri untuk menghasilkan
solusi cerdas dalam pengembangan mutu pendidikan Indonesia. Harapannya hakikat
pendidikan dalam memanusiakan manusia akan terwujud dan menjadikan generasi
bangsa Indonesia sebagai generasi yang tangguh dan mampu bersaing secara
global, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diridhoi Allah Swt.
Makalah ini tersusun bukan dengan kondisi
penuh dengan kesempurnaan, namun lahir dengan penuh kelemahan. Sehingga
berbagai saran dan kritikan yang bersifat konstruktif selalu dibutuhkan oleh
penulis sebagai acuan penulis dalam penyusunan makalah yang selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Aprilia, Asti. 2014. Kurangnya
Pemerataan Pendidikan Indonesia. Diambil dari: http://edukasi.kompasiana.com/2014/08/19/kurangnya-pemerataan-pendidikan-indonesia-669344.html. (diakses, 6 Januari 2015).
Darisandi, Roby. 2013. Pemerataan
Pendidikan untuk Wilayah Timur Indonesia. Diambil dari: https://www.academia.edu/7310811/Pemerataan_Pendidikan_untuk_Wilayah_Timur_Indonesia. (diakses, 6 Januari 2015).
De Bone, E. 2007. Revolusi
Berfikir. Bandung : Al Mizam.
Imron, Ali. 1995. Pembinaan
Guru di Indonesia, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Jihad, A dan Harlis, A.
2008. Evaluasi Pembelajaran.
Jogjakarta: Multi Persindo.
Jubirman. 2014. Problematika
Pendidikan Indonesia. Diambil dari: http://jubirman-mosolo.blogspot.com/2014/04/problematika-pendidikan-indonesia.html. (diakses, 6 Januari 2015).
Jubirman. 2014. Kurikulum
2013 Melahirkan Mafia Pendidikan. Diambil dari : http://jubirman-mosolo.blogspot.com/2014/09/kurikulum-2013-melahirkan-para-mafia.html. (diakses, 6 Januari 2015).
Kemendiknas. 2014. Tentang
Kesejahteraan Guru. Diambil dari: http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/editorial/3653 (diakses, 5 Januari 2015).
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3,
Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Roestiyah, NK. 1989. Masalah-masalah
Ilmu Keguruan, Jakarta: PT. Bina Aksara.
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
Suyanto dan abbas. 2001. Wajah dan dinamika pendidikan
anak bangsa. Yogyakarta
: Adicita Karya Nusa.
Ulfah, Maryah. 2010. Makalah
Pro Kontra Ujian Nasional di Indonesia. Diambil dari : http://maryah-ulfah.blogspot.com/2010/01/makalah-pro-kontra-ujian-nasional-di.html. (diakses, 5 Januari 2015).
Terima Kasih atas infonya.
BalasHapusalifqofrahamzah.blogspot.co.id