Islam merupakan agama
yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat
jibril untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (konsep ubudiyah),
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (konsep muamalah), mengatur hubungan
manusia dengan alam sekitarnya. Islam sebagai agama mestinya umatnya menjadikan
islam sebagai sebuah aturan hidup yang tak tergugat lagi melalui sumbernya
(Al-qur’an, As-Sunah, dan Qiyas). Majunya islam di panggung peradaban dunia di
masa lalu menjadikan agama lain merasa tersindir dan terpinggirkan akan
kemajuannya. Sehingga banyak hal yang mereka lakukan untuk meruntuhkan
peradaban islam dengan memecah belah persatuan islam serta memisahkan urusan
agama dengan urusan kehidupan yang semula merupakan tradisi yahudi dan Kristen[1].
Bagi kaum Kristen,
sekularisasi dianggap menjadi suatu keharusan yang tidak dapat ditolak.
Harvey Cox membuka buku terkenalnya, The Secular City dengan bab“The
Biblical Source of Secularization”, yang diawali dengan kutipan
pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: “secularization
is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history”.
Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan bible terhadap
sejarah. Program pemisahan islam terhadap agama (sekularisasi islam) di
Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan melalui
tiga bidang penting dalam ajaran islam, yaitu 1. Liberalisasi di bidang aqidah
dengan penyebaran paham pluralisme agama, 2.Liberalisasi bidang syariah melalui
perubahan metodologi ijtihad, 3. Liberalisasi konsep wahyu melalui dekonstruksi
terhadap al-quran.[2]
Dalam pluralisme
agama, pemikirannya muncul pada masa pencerahan Eropa, tepatnya di abad ke – 18
Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan
pemikiran modern.Wacana pluralisme yang lahir dari rahim liberalisme sangat kental dengan nuansa dan aroma politik. Muhammad
Legenhausen, seorang pemikir muslim kontemporer juga berpendapat bahwa
munculnya paham liberalisme politik di Eropa pada abad ke 18, sebagian besar
didorong oleh kondisi masyarakat yang carut marut akibat memuncaknya
sikap-sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sectarian yang pada
akhirnya menyeret kepada pertumpahan darah antara ras, sekte, dan mazhab pada
masa reformasi keagamaan.[3]
Selain pluralisme,
wacana lain yang juga dikembangkan dalam tema liberalisasi islam yaitu tema
“dekonstruksi kitab suci”. Taufik Adnan Kamal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makassar,
menulis suatu makalah berjudul “Edisi Kritis Al-Quran” yang isinya menyatakan : “Uraian dalam paragraf-paragraf berikut
mencoba mengemukakan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan al-quran,
sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah
mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita
warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini”.
Taufik berusaha meyakinkan, bahwa Alquran saat ini masih bermasalah, tidak
kritis, sehingga perlu di edit lagi. Dosen itu
pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi Sejarah Alquran” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf
Utsmani. Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa
mushaf Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak di sucikan.
Selain beberapa
problematika umat diatas, ada lagi
problematika yang cukup serius tentang kasus perkawinan antara muslim dan
non-muslim. Terdapat seorang yang jelas-jelas melakukan kesalahan menurut hukum islam, karena melakukan perkawinan antara agama, antara
muslimah dengan laki-laki non muslim. Tetapi, karena yang mengawinkannya adalah
seorang doctor dalam bidang filsafat islam dan dosen Fakultas Ushuluddin, maka
si mempelai merasa telah melakukan tindakan yang benar. Tabloid Cek dan Ricek
edisi 28 Februari – 06 maret 2005, membuat laporan utama tentang perkawinan
Deddy Corbuzier (katolik) dan Kalina (muslimah), dengan penghulu Dr. Zainun
kamal, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Sejak dulu sudah banyak muslimah
yang diam-diam menikah dengan laki-laki non muslim. Karena perkawinannya
bertentangan dengan UU No 1 / 1974, dan tidak dapat mendapatkan pengesahan di
Indonesia, mereka biasanya melaksanakan perkawinannya di luar negeri, seperti
yang dilakukan oleh artis Yuni shara dan Henry Siahaan (Adian Husaini dalam bukunya Hegemoni Kristen-Barat, 2006)
1. Pluralisme
Agama
Liberalisasi aqidah islam dilakukan dengan
menyebarkan paham pluralisme agama. Pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan
sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau
memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak dari agama yang ada,
dibarengi dengan adanya pengakuan aturan-aturan yang dimiliki oleh setiap agama
tersebut. Paham ini, pada dasarnya menyatakan bahwa
semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi,
menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju
Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan bahwa agama adalah presepsi relative
terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena kerelativannya maka setiap pemeluk
agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamnya sendiri yang paling
benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya
sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu cirri agama jahat
(evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.
Di Indonesia,
penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh,
cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Ulil Abshar Abdalla misalnya pernah mengatakan: “Semua
agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, islam bukan yang paling
benar”.(majalah GATRA, 21 Desember 2002). Seorang Penulis Buku Islam Pluralis, Budhy Munawar Rahman di dalam bukunya wajah Liberal Islam di
Indonesia (terbitan JIL), menulis, suatu artikel berjudul “basis
teologi persaudaraan antara agama” (hal 51-53). Lebih dalam lagi, seorang Profesor
ternama dari UIN Yogyakarta, Prof.Dr.
Abdul Munir Mulkhan, menulis bahwa “jika
semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan
kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.
Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari
kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah
jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerja sama dan
dialog pemeluk berbeda agama menjadi mungkin untuk dilakukan".
2. Relativisme
Kebenaran
MUI (Majelis
Ulama Indonesia) mengartikan pluralisme agama sebagai sebuah paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama
adalah relatif. Oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa
hanya agamanya saja yang benar sedangkan yang lain salah. Pluralisme juga
mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga dan akan hidup
berdampingan di dalam surga kelak. Paham pluralisme agama
berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan
yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham
relativisme ini, khususnya di lingkungan perguruan tinggi islam.
Sebagai contoh, Prof. Dr Azyumardi Azra,
Rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford
Foundation:“islam itu memang pluralis,
islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, islam adalah satu terapi
ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan,
maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa di elakkan”[4]. Didalam
buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:“penafsiran atas sebuah agama sendiri
tidaklah tunggal. Dengan demikian, supaya mempersamakan dan mempersatukan
dibawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontra produktif. Dan pada gilirannya
agama kemudian menjadi sangat relatif ketika di jelmakan dalam praktek
kehidupan sosial sehari-hari”.
Paham relativisme akal dan relativisme
iman merupakan virus ganas mirip virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya
tahan keimanan seseorang, sebab melalui virus ini, maka seseorang menjadi tidak
yakin dengan kebenaran agamanya sendiri. Dari virus inilah lahir sikap skeptis
dan agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang ada yang telah dicapainya.
Jika seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan
terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian.
Di
Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak serakah
dan memalukan. Semua hal mau di liberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat
terhadap kenaikan harga BBM, sesorang aktivis islam liberal tanpa malu-malu
menulis di jaringan internet bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus
kaffah, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal
di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara barat, dimana
liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya
membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegelisahan bathin, karena jauh dari
keyakinan dan kebenaran abadi.
3. Liberalisasi
Al-Quran
Salah satu wacana lain yang
berkembang pesat dalam tema liberalisasi islam ini adalah tema “dekonstruksi wahyu
atau dekonstruksi kitab suci”. Di kalangan yahudi dan Kristen, fenomena ini
sudah berkembang pesat. Ironisnya bahwa pesatnya studi kritis Bible itu telah
mendorong kalangan kristen Yahudi untuk melirik Alquran dan mengarahkan hal
yang sama terhadap Alquran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, Pendeta Kristen
asal Irak dan guru besar di universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa
sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Alquran
sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci yahudi yang berbahasa
Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berahasa Yunani.
Ada lagi sebuah tesis
master di Universitas negeri Yogyakarta, ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara
terang-ternagan juga menghujat kitab suci Alquran. Tesis itu sudah diterbitkan
dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang
doktor dalam bidang studi islam, dosen di Pasca Sarjana UIN Yogyakarta. Di
dalam buku ini misalnya, kita bisa melihati hujatan terhadap Alquran seperti
kata-kata ini:“setelah kita kembalikan
wacana Islam-Arab kedalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni
budaya arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang
terperangkap dalam mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang
lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran yang di mainkan
mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan, kita terlebih dahulu
menempatkan mushaf Utsmani itu setara dengan teks-teks lain”.
Peradaban
Ilmu Sebagai Solusi Problematika Islam di Era
Global
Peradaban merupakan tingkat
kebudayan yang lebih tinggi dari kebudayan di zaman Jahiliyah atau kebodohan di
mana manusia tidak beradab atau disebut biadab. Pengertian ini akan
mengingatkan kita pada pengertian peradaban menurut S. Czanorwski yang mengatakan
bahwa peradaban adalah periodisasi masyarakat atau jaman yang masing-masing
memiliki indikator yang berbeda satu sama lain. Peradaban adalah bidang
kehidupan untuk menciptakan sesuatu yang berguna secara praktis. Peradaban
adalah sebagian dari kebudayaan yang dibuat untuk memudahkan dan
mensejahterakan kehidupan. Sebagian besar Sejarahwan melukiskan jaman pertengahan sebagai periode
gelap, terkait eksistensi manusia. Gagasan ini sesungguhnya adalah gagasan
kependetaan, gagasan yang muncul dari kebudayaan Barat dan memusatkan semata
pada sejarah kebudayaan Barat. Memang, abad pertengahan adalah abad kegelapan
bagi Eropa, tapi bukan berarti pada masa-masa itu kegelapan meliputi seluruh
dunia. Pada kenyataan saat itu justru peradaban islam sedang berada di
puncak-pucaknya kejayaan[5].
George Sarton dalam
bukunya Introduction to The History of Science, sebagaimana yang
dikutip oleh Budi Yuwono, menulis, “cukuplah kita tulis nama-nama besar yang
tak tertandingi pada masa itu oleh orang Barat: Jabir Ibnu Hayyan, Al-Kindi,
Al-Khwarizmi, Al-Farghani, Al-Farabi, Ar-Razi, Tsabit ibn Qura, Al-Battani,
Ibnu Sina, Al-Biruni, Umar Khayam. Jika sesorang mengatakan pada Anda bahwa
abad pertengahan sama sekali dari kegiatan ilmiah, maka kutiplah nama-nama di
atas. Ketahuilah bahwa mereka semua itu hidup dan berkarya dalam periode dalam
amat singkat dari 750-1100 Masehi.
Peradaban ilmu mestinya
menjadi jawaban atas banyaknya problematika yang dihadapi umat islam di era
ini. Dengan menyelami peradaban ilmu yang bersandar pada aturan Allah dengan
tidak keluar dari koridor syariat islam maka kita akan terhindarkan dengan banyaknya
godaan dan tipu muslihat Barat. Sehingga ilmu yang di dapatkan tidak akan
melaknati pemiliknya namun menjadi berkah untuk pemiliknya. Hal ini pun akan
membuat kita tidak terlaknati dengan menyebarkan isu-isu pluralisme agama,
menganggap bahwa kebenaran adalah hal yang relatif, dan berusaha meliberalisasi
Al-Quran.
Majunya tekhnologi hari
ini mestinya menjadikan umat islam tidak dimanjakan oleh tekhnologi. Sehingga
dua mahasiswa UNISSULA Nike Ardina dan Akhyar Saddad dalam bukunya “Islam di Era Digital” mengungkapkan
bahwa mestinya umat islam ini menjadikan lahan dakwah atas kemajuan zaman di
era digital ini. Sehingga nantinya akan melahirkan pengetahuan yang mampu
beradaptasi terhadap perkembangan zaman. Ilmu pengetahuan yang semacam ini akan
melahirkan iman dan tanggung jawab yang membuat pemiliknya senantiasa condong
dalam kebaikan, dan membuat hati mereka semakin condong kepada Allah. Bukan
berusaha menyebarkan paham pluralisme agama atau merekonstruksi Al-Quran.
Allah telah berfirman,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba–hamba-Nya hanyalah
ulama.”(QS.Fathir: 28). Dalam kaitan ini Syekh Ibnu Athailah menyodorkan
kriteria tentang ilmu. Katanya, “ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang cahayanya
memancar ke dalam dada, yang karenanya tersingkap tirai yang menutupi hati”.
Ilmu – ilmu seperti inilah yang nantinya dapat membangkitkan kembali peradaban
islam yang telah sirna dari panggung peradaban dunia. Bukan ilmu yang nantinya
akan melaknati pemiliknya, bahkan ilmu seperti inilah yang akan memberkahi
pemiliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar