Powered By Blogger
Powered By Blogger

Jumat, 10 April 2015

Makalah Problematika Pendidikan di Indonesia

ABSTRAK
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan  manusia itu sendiri. Dalam penididkan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
Namun pendidikan di Indonesia hari ini telah menuai banyak problematika yang memuat seluruh aspek yang menghalangi lajunya pertumbuhan pendidikan. Misalnya tentang permasalahan kesejahteraan guru, pemerataan pendidikan (dalam arti fasilitas atau sarana dan prasarana), kualitas guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menjadikan tujuan pendidikan Indonesia tidak tercapai. Sehingga hal ini butuh kajian mendalam yang bersifat fundamental untuk mengetahui penybab munculnya problematika pendidikan.
Ternyata, ada satu hal penting yang bersifat fundamental sebagai penyebab munculnya berbagai problematika pendidikan di Indonesia. Masuknya paham sekulerisme yang memisahkan antara urusan agama dan urusan kehidupan menjadikan cita – cita pendidikan Indonesia tak tercapaikan. Coba kita perhatikan kembali dari UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1. Yang lahir bukannya manusia yang berketuhanan dan berbudi luhur, namun yang hadir adalah manusia – manusia yang melakukan persekongkolan yang masuk dalam lingkaran hitam (mafia pendidikan). Sehingga antar ide dan realita berbanding terbalik. Hakikat pendidikan tidak berujung pada memanusiakan manusia, bahkan lebih buruk lagi dari itu yaitu berakhir pada membinatangkan manusia.

            Keyword: Pendidikan, problematika, guru, siswa, mafia


BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap manusia dimuka bumi ini yang tidak terlepas dari segala aktivitas manusia. Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari perencanaan dan penerapan pendidikan. Pendidikan diambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang berhubungan dengan Pendidikan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan  manusia itu sendiri. Dalam penididkan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi. Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna mencapai tujuan pendidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat difahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
a.       Apa definisi problematika pendidikan dan bagaimana penyebabnya?
b.      Bagaimana kondisi kesejahteraan guru hari ini?
c.       Seperti apakah realita pemerataan pendidikan di Indonesia?
d.      Apakah polemik Ujian Nasional termasuk problematika pendidikan?
C.    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pada makalah ini yaitu:
a.       Mendeskripsikan tentang definisi dan penyebab dari problematika pendidikan
b.      Mendeskripsikan tentang kondisi kesejahteraan guru Indonesia hari ini
c.       Menjelaskan realita lapangan dari pemerataan pendidikan di Indonesia
d.      Menjelaskan tentang polemik Ujian Nasional






BAB II PEMBAHASAN
A.    Problematika Pendidikan dan Penyebabnya
Istilah permasalahan diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah segala sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan (solving). Sedangkan kata permasalahan berarti sesuatu yang dimasalahkan atau hal yang dipermasalahkan. Jadi Permasalahan pendidikan adalah segala sesuatu hal yang merupakan masalah atau problema dalam pelaksanaaan kegiatan pendidikan. Di Indonesia masalah pendidikan atau akrabnya kita menggunakan kata problematika pendidikan memuat banyak hal dari seluruh aspek yang menghalangi lajunya pertumbuhan pendidikan. Misalnya tentang permasalahan kesejahteraan guru, pemerataan pendidikan (dalam arti fasilitas atau sarana dan prasarana), kualitas guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menjadikan tujuan pendidikan Indonesia tidak tercapai.
Beberapa permasalahan diatas tentu butuh kajian yang mendalam yang meyakinkan kepada kita tentang alasan mendasar munculnya problematika pendidikan. Sebenarnya apa yang mendasari munculnya problematika dalam dunia pendidikan? Pertanyaan ini memang biasa, namun ini adalah realita yang perlu diungkap. Coba kita perhatikan kembali dari UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Ironisnya antara ide dan realita berbanding terbalik. Realita yang dapat kita temukan dilapangan adalah bukan manusia yang beriman, bukan manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan manusia yang berbudi mulia, berahlakul karimah, melainkan yang muncul adalah manusia – manusia yang terpaksa beriman hanya karena formalitas memiliki agama namun tak menjalankan aturan – aturan agama. Parahnya urusan agama dipisahkan dengan urusan kehidupan.
Pendidikan Indonesia tidak melahirkan manusia – manusia berbudi luhur dan berahlakul karimah, namun yang hadir adalah manusia – manusia pencuri soal di kala Ujian Nasional, manusia – manusia pencontek, manusia – manusia yang bergotong royong dalam melakukan tindakan kejahatan kepada siswa yang pintar dalam bentuk ancaman. Ini berbanding terbalik dari apa yang di cita-citakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Semuanya jauh dari harapan, bahkan cita – cita pendidikan Indonesia atau tujuan pendidikan Indonesia tidak akan pernah tercapai.
Ternyata, ada satu hal penting yang bersifat fundamental sebagai penyebab munculnya berbagai problematika pendidikan di Indonesia. Masuknya paham sekulerisme yang memisahkan antara urusan agama dan urusan kehidupan menjadikan cita – cita pendidikan Indonesia tak tercapaikan. Agama tidak boleh mengurus urusan pendidikan, sehingga ilmu – ilmu Barat dengan leluasa masuk dan ditransformasikan ke pikiran siswa, baik dari ideologinya, pandangan hidupnya (worldview), filsafat ilmunya, hingga ke penerapannya, semuanya diadopsi dari pemikiran Barat. Jangan heran ketika di buku – buku Sejarah Indonesia masih terdapat teori evolusi Darwin. Padahal hal ini bertentangan dengan ajaran islam. Seolah – olah para guru dan praktisi pendidikan diam – diam saja dan bersekongkol untuk melakukan pembiaran terhadap hal itu.
Selain itu, alasan mendasar yang menyebabkan antara ide dan realita pendidikan Indonesia berbanding terbalik adalah paradigma keliru yang dilakukan oleh sistem pendidikan Indonesia. Paradigma keliru yang dimaksud adalah sistem pendidikan Indonesia terlalu memfokuskan diri pada tujuan hingga lupa pada proses. Sehingga siswa di doktrin untuk memikirkan tujuan dan lupa memikirkan proses. Setingan ini terlihat jelas dalam persiapan menghadapi Ujian Nasional. Sejak dari awal – awal, siswa telah didoktrin untuk memikirkan lulus Ujian Nasional sehingga halal – haram tidak menjadi ukuran dalam ikhtiar ini. Yang penting lulus Ujian Nasional, entah mau cara apa, aman – aman saja dilaksanakan asal tidak ketahuan publik. Siswa tidak lagi disuruh harus cerdas atau lebih dalam lagi siswa tidak difokuskan untuk menjadi siswa yang berketuhanan, berbudi luhur, dan berahlakul karimah, melainkan siswa disuruh bagaimana caranya agar bisa menyelesaikan soal – soal Ujian Nasional. Sehingga tujuan pendidikan Indonesia menjadi impossible (tidak mungkin) tercapai. Akibatnya, antara apa yang dicita – citakan dengan apa yang terjadi dilapangan jelas berbanding terbalik.
B.     Rendahnya Tingkat Kesejahteraan Guru
Mari bersama kita tengok kembali sejarah jatuhnya bom di Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar Jepang mengeluarkan intstruksi tidak untuk mencari berapa pejabat yang meninggal, berapa para seniman, politisi, hakim, atau berapa dari kalangan birokrasi pemerintahan yang meninggal, namun yang dicarinya adalah berapa guru yang meninggal. Betapa pentingnya keberadaan guru dalam menyiapkan generasi penerus bangsa. Guru adalah tonggak utama dalam maju mundurnya pendidikan. Namun hari ini di Indonesia nasib guru cukup memprihatikan.
Ironisnya guru - guru yang honorer masih mendapatkan gaji yang jauh dari ukuran kelayakan profesi. Guru honorer yang hanya menerima honor Rp 200.000 hingga Rp 300.000 setiap bulan. Hal ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) di daerah manapun di Indonesia. Padahal mereka bekerja penuh waktu dan memiliki tanggung jawab sama dengan guru PNS. Perihal ketimpangan ini, seorang guru di Berau, Kalimantan Timur bernama Evi Sulistiyaningsih, seorang guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 4 Berau sekaligus guru berprestasi 2014 mengatakan bahwa peran pemerintah terhadap guru PNS sudah lebih baik, apalagi ditambah adanya tunjangan sertifikasi. Namun, hal ini tidak dirasakan oleh guru honor, yang menurutnya kurang diperhatikan oleh pemerintah. Padahal pekerjaan mereka sama dengan guru PNS, namun gaji honor mereka jauh dari ukuran kelayakan.
Harapan yang dikemukakan oleh Evi Sulistiyaningsih diatas boleh jadi merupakan harapan semua guru di Indonesia, baik yang berstatus PNS maupun honorer. Di lapangan, kita tentu sangat mudah menemukan fakta bahwa di satu sekolah guru PNS dan honorer memiliki beban sama, namun pendapatan yang diterima jauh berbeda. Realita ini tidak hanya kita temukan di Kalimantan, namun hal ini pun dapat kita temukan di sekolah – sekolah lain dari Sabang sampai Merauke. kondisi ini pulalah yang menjadikan guru PNS terkadang merasa “berdosa” dengan rekan sepenanggungannya.
Rendahnya kesejahteraan guru akan berdampak pada rendahnya kualitas Pendidikan Indonesia. Berdasarkan surfei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3.000.000. namun faktanya pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1.500.000. Guru bantu Rp 460.000, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10.000/jam. Dengan pendapatan seperti itu sehingga tidak mengherankan bila banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, atau terkadang memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/ LKS, atau bahkan pedagang pulsa ponsel dan sebagainya (Republika 13 juli 2005).
Realita lain terungkap dalam film “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata. Film ini mengungkap nasib guru yang memilukan namun komitmen dengan profesinya. Nasibnya jauh dari apa yang dirasakan oleh guru – guru lain yang hidup dekat dengan Ibukota negara, namun semangatnya jauh dari apa yang dimiliki oleh guru – guru yang hidup dekat dengan ibukota negara. Meskipun gaji sedikit, namun semangatnya tetap tinggi dan komitmen dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan tujuan mulia, yakni mengharapkan lahirnya manusia - manusia yang berketuhanan (dalam arti beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa), manusia – manusia yang bermoral baik, berbudi luhur, serta manusia – manusia yang tangguh dan mampu bersaing secara global dengan daya saing tinggi. Harapan dan semangat ini sulit kita temukan dalam diri guru – guru PNS yang konon mendapatkan gaji maksimal.
Apalagi, muncul program diskriminasi baru yang namanya sertifikasi guru. Seorang guru tidak lagi mengajar dengan tujuan mulia, namun seorang guru mengajar hanya untuk mendapatkan sertifikasi dengan gaji yang menjanjikan. Paham materialisme mulai ditanamkan oleh pemerintah. Sehingga sulit dikatakan “ya” untuk terwujudnya tujuan pendidikan nasional jika framework yang ditularkan pemerintah kepada siswa adalah paradigma keliru. Paradigma yang berawal dari sekulerisme dan berujung pada materialisme.
C.    Realita Pemerataan Pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan faktor penting penentu maju mundurnya kebangkitan sebuah bangsa. Sehingga jangan heran bila Prof. Anies Baswedan (Menteri Pendidikan Dasar Menengah dan Kebudayaan periode 2014 - 2019) terlalu memerhatikan pendidikan dengan mengirimkan tenaga – tenaga pengajar ke daerah – daerah terpencil melalui program Indonesia Mengajar. Program ini tak lain merupakan usaha dalam pemerataan pendidikan. Sehingga hak dalam mendapatkan pendidikan yang layak dapat dirasakan secara merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Namun, ternyata program “Indonesia Mengajar” tak mendapatkan hasil yang maksimal. Karena masih banyak daerah – daerah yang belum mendapatkan pendidikan secara merata. Pemerataan pendidikan mestinya tidak hanya dipandang dari sudut pandang proses kegiatan belajar mengajar. Namun lebih dari itu, pemerataan pendidikan juga harus meliputi pada pemerataan fasilitas (sarana dan prasarana), pemerataan distribusi buku, pemerataan bangunan fisik sekolah, pemerataan kualitas guru, dan pemerataan ketersediaan koneksi internet. Setidaknya sekolah – sekolah negeri harus mendapatkan beberapa pemerataan diatas.
Bagaimana mungkin kita akan menyamakan kondisi fisik sekolah di Papua dengan kondisi fisik sekolah di Jakarta misalnya. Atau bagaimana mungkin kita akan menyamakan ketersediaan buku – buku di Bandung dengan ketersediaan buku – buku di Wawonii (Sulawesi tenggara). Ketersediaan buku dan fasilitas lainnya akan berbanding lurus dengan meningkatnya kualitas siswa. Begitupun sebaliknya tidak tersedianya buku atau fasilitas lainnya akan berbanding lurus dengan menurunnya kualitas siswa.
Sebagai bahan referensi data untuk dapat dipertimbangkan, terdapat sebuah sekolah di Kepulauan Wawonii (Sulawesi Tenggara) tepatnya di SMPN 2 Waworete, Desa Mosolo yang masih belum teraliri aliran listrik. Padahal, di abad tekhnologi ini hampir semua sekolah - sekolah di Pulau Jawa telah menggunakan wifi untuk terkoneksi di internet. Jangankan koneksi internet, listrik saja belum ada, apalagi jaringan seluler di sekolah tersebut. Hal ini belum lagi kita berbicara tentang adanya komputer atau mikroskop sebagai fasilitas wajib bagi sekolah - sekolah, belum lagi kita berbicara tentang fasilitas – fasilitas lainnya yang masih jauh dari ukuran kelayakan sebagai sebuah sekolah. Kondisi ini mestinya mendapatkan perhatian penuh dari pihak pemerintah dalam memerhatikan pemerataan penyediaan fasilitas yang memadai bagi sekolah – sekolah yang membutuhkan.
Sudut pandang lain misalnya dari aspek ekonomi. Meningkatnya angka putus sekolah yang disebabkan permasalahan ekonomi keluarga yang lemah menjadikan indikasi terhadap tidak meratanya pendidikan diseluruh wilayah Indonesia. Apalagi di wilayah Indonesia Timur, pendidikan hanya mereka rasakan disaat Sekolah Dasar namun tak dirasakannya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menegah Atas (SMA), apalagi Perguruan Tinggi (PT). Mereka terpaksa menganggur dan kembali melanjutkan profesi turunan mereka sebagai petani dan nelayan hanya karena keterbatasan ekonomi. Sehingga tidak mengheran bila terdapat anak – anak kecil di wilayah pelosok Indonesia yang masih berumur sekitar ± 10 – 12 tahun harus bekerja membanting tulang untuk membantu menghidupi keluarga.
Inilah realita pemerataan pendidikan dilapangan yang bisa kita lihat bersama. Seolah – olah pemerintah menutup mata dalam melihat realita ini yang merupakan realita tak terbantahkan dan menjadi tanggung jawabnya sebagai pemimpin di negeri ini. Pemerintah seolah – olah lupa dengan adanya sila ke lima dalam pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan keadilan namanya jika kekayaan alam di Papua, di Kalimantan, di Sulawesi, dan di Sumatra hanya dirasakan oleh warga yang tinggal dekat dengan ibukota negara. Anehnya, pemerintah adil dalam penagihan pembayaran pajak namun tidak adil dalam distribusi pembagian hasil pajak. Hanya segelintir orang yang merasakan kayanya alam Indonesia dan yang lainnya hanya merasakan penderitaan didalam kekayaannya. Hal ini mirip dengan sebuah analogi tikus yang mati di lumbung padi. Sehingga rasa – rasanya konsep Drs. Moh Hatta dalam diskusinya bersama Ir. Soekarno dalam menentukan bentuk negara Indonesia dianggap baik untuk  diterapkan hari ini sebagai negara federal, bukan sebagai negara republik.
D.    Polemik Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) merupakan program evaluasi yang dilakukan pemerintah secara nasional untuk melihat kemampuan peserta didik Indonesia. Singkatnya, Ujian Nasional dijadikan sebagai ukuran penentu kelulusan siswa. Program Ujian Nasional dilaksanakan di tiap jenjang pendidikan, terkecuali jengang perguruan tinggi. Dimulai dari jenjang dasar (SD atau sederajat), jenjang menengah pertama (SMP atau sederajat), hingga ke jenjang menengah atas(SMA atau sederajat).
Meskipun menuai perdebatan, pro kontra, dan polemik bagi bangsa, pemerintah Indonesia masih saja melaksanakan Ujian Nasional. Penolakan terhadap Ujian Nasional mulai berdatangan mulai dari guru, ulama, anggota DPD RI, bahkan dari siswa itu sendiri. Salah satu faktanya yaitu seorang aktivis Koalisi Reformasi Pendidikan (KRP), yang juga Sekretaris Jenderal Federasi Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti dengan keras menantang Ujian Nasional. Ada lima alasan menurutnya Ujian Nasional kenapa harus ditolak. Pertama, absennya pastisipasi pemuda (dalam hal ini siswa) dalam rapat penentuan keputusan apakah UN tetap dilaksanakan atau tidak. Pernahkan siswa diundang dalam konvensi tentang Ujian Nasional oleh Kemendikbud? Siswa tidak diberikan kesempatan untuk berpendapat dalam konvensi Ujian Nasional. Kalaupun diundang, namun belum tentu suaranya akan didengar dan dielaborasi. Padahal dari semua perdebatan antara guru dan para praktisi pendidikan tentang perihal Ujian Nasional, pihak yang paling dirugikan adalah guru (pendidik) dan siswa (didikan).
Alasan kedua, Ujian Nasional akan berdampak pada gangguan fisik dan psikis oleh siswa. Dari awal – awal guru telah memberitahu siswa tentang pentingnya kesiapan siswa dalam menghaapi Ujian Nasional. Tak disadari bahwa ini akan membuat siswa mulai berpikir langkah apa yang mesti dilakukan untuk menyukseskan Ujian Nasional. Berbagai strategi dan taktik akan dijalankannya dengan tanpa memperhatikan ukuran halal haram sebagai ketentuan moral. Sehingga berbagai strategi tawaran mulai berdatangan dari oknum – oknum terntentu dalam menawarkan kegiatan bimbingan belajar yang termasuk dalam lingkaran hitam (lingkaran yang kita sebut sebagai makelar atau mafia pendidikan). Berbagai janji yang menggiurkan telah ditawarkannya namun dengan harga yang begitu besar. Salah satu janji yang dikeluarkan adalah uang akan dikembalikan 75% jika yang bersangkutan tidak lulus dalam Ujian Nasional.  Ternyata, ini merupakan setingan kerja sama dari oknum guru, pihak penyelenggara Bimbingan Belajar, dan pihak pembuat soal UN. Sehingga wajar saja siswa yang ikut dalam bimbingan belajar tersebut dapat dengan mudah lulus dalam Ujian Nasional.
Alasan ketiga, UN akan memicu kecurangan dan rasa tidak percaya diri dikalangan pendidik (guru) dan kalangan peserta didik. Bisa dibayangkan, terdapat guru dan murid yang bekerja sama dalam melakukan transaksi soal dengan bayaran harga tinggi yang berkisar harga puluhan juta. Namun di satu pihak, siswa yang lain dengan ekonomi lemah banting tulang, peras keringat untuk belajar dalam mempersiapkan Ujian Nasional. Hal ini jelas terlihat ketimpangan dan kecurangan sekaligus rasa tidak percaya diri yang dimilki oleh pihak guru dan siswa. Alasan keempat, pemborosan biaya anggaran yang memakan dana lebih dari setengah triliunan rupiah. Bisa dilihat, untuk biaya UN SMP dan SMA sebesar Rp 515.496.127.000, UN SD Rp 127.960.093.000. Padahal dengan dana sebesar ini bisa saja kita alokasikan untuk pemerataan fasilitas berupa sarana dan prasarana sekolah. Selain itu, dana itu pula bisa dialokasikan untuk pemberian tambahan gaji guru honorer yang hari ini jauh dari ukuran kelayakan.
Alasan kelima, Ujian Nasional bertentangan dengan Undang – Undang Dasar. Pada tahun 2007 Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan untuk tidak memberlakukan UN sebagai penentu kelulusan sebelum tujuh standar pendidikan lainnya dipenuhi. UN juga bertentangan dengan kurikulum yang ada, karena tidak sejalan dengan keberagaman daerah dan kearifan lokal masing masing daerah yang ada di Indonesia. Lebih jauh lagi UN menjadikan tujuan pendidikan dalam yang tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 bersifat impossible. Tidak akan lahir manusia yang bertakwa dan berbudi luhur seperti yang di inginkan oleh Undang – Undang, namun yang lahir adalah manusia – manusia yang dengan berjamaah melakukan kemungkaran berupa transaksi soal yang kita namakan sebagai mafia pendidikan.




















BAB III PENUTUP
A.    Simpulan
Di Indonesia masalah pendidikan atau akrabnya kita menggunakan kata problematika pendidikan memuat banyak hal dari seluruh aspek yang menghalangi lajunya pertumbuhan pendidikan. Misalnya tentang permasalahan kesejahteraan guru, pemerataan pendidikan (dalam arti fasilitas atau sarana dan prasarana), kualitas guru, dan beberapa permasalahan lainnya yang menjadikan tujuan pendidikan Indonesia tidak tercapai. Sehingga butuh kajian yang mendalam untuk mencari tahu penyebab atau alasan utama yang bersifat fundamental tentang munculnya problematika pendidikan.
Tujuan pendidikan Indonesia telah tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1. Namun antara ide dan realita tak berjalan mulus, bahkan berbanding terbalik. Bukannya manusia yang berketuhanan dan berkepribadian luhur yang muncul, namun yang lahir adalah para mafia pendidikan dengan secara berjamaah melakukan transaksi soal untuk menyukseskan Ujian Nasional. Sehingga hakikat pendidikan dalam “memanusiakan manusia” tidak pernah muncul, namun yang lahir adalah “membinatangkan manusia”
B.     Saran
Problematika pendidikan adalah masalah fundamental yang dihadapi bangsa Indonesia sehingga menghalangi lajunya pertumbuhan pendidikan Indonesia. Sehingga problematika ini mestinya menjadi perhatian dan diskusi bersama oleh Kemendikbud, para praktisi pendidikan, guru, mahasiswa sebagai calon pendidik, dan siswa itu sendiri untuk menghasilkan solusi cerdas dalam pengembangan mutu pendidikan Indonesia. Harapannya hakikat pendidikan dalam memanusiakan manusia akan terwujud dan menjadikan generasi bangsa Indonesia sebagai generasi yang tangguh dan mampu bersaing secara global, serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt.
Makalah ini tersusun bukan dengan kondisi penuh dengan kesempurnaan, namun lahir dengan penuh kelemahan. Sehingga berbagai saran dan kritikan yang bersifat konstruktif selalu dibutuhkan oleh penulis sebagai acuan penulis dalam penyusunan makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, Asti. 2014. Kurangnya Pemerataan Pendidikan Indonesia. Diambil dari: http://edukasi.kompasiana.com/2014/08/19/kurangnya-pemerataan-pendidikan-indonesia-669344.html. (diakses, 6 Januari 2015).
Darisandi, Roby. 2013. Pemerataan Pendidikan untuk Wilayah Timur Indonesia. Diambil dari: https://www.academia.edu/7310811/Pemerataan_Pendidikan_untuk_Wilayah_Timur_Indonesia. (diakses, 6 Januari 2015).
De Bone, E. 2007. Revolusi Berfikir. Bandung : Al Mizam.
Imron, Ali. 1995. Pembinaan Guru di Indonesia, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Jihad, A dan Harlis, A. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Jogjakarta: Multi Persindo.
Jubirman. 2014. Problematika Pendidikan Indonesia. Diambil dari: http://jubirman-mosolo.blogspot.com/2014/04/problematika-pendidikan-indonesia.html. (diakses, 6 Januari 2015).
Jubirman. 2014. Kurikulum 2013 Melahirkan Mafia Pendidikan. Diambil dari : http://jubirman-mosolo.blogspot.com/2014/09/kurikulum-2013-melahirkan-para-mafia.html. (diakses, 6 Januari 2015).
Kemendiknas. 2014. Tentang Kesejahteraan Guru. Diambil dari: http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/editorial/3653 (diakses, 5 Januari 2015).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
Roestiyah, NK. 1989. Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Jakarta: PT. Bina Aksara.
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Suyanto dan abbas.  2001.  Wajah dan dinamika pendidikan anak bangsa  Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Ulfah, Maryah. 2010. Makalah Pro Kontra Ujian Nasional di Indonesia. Diambil dari : http://maryah-ulfah.blogspot.com/2010/01/makalah-pro-kontra-ujian-nasional-di.html. (diakses, 5 Januari 2015).


1 komentar: